RumahCom – DKI Jakarta secara perlahan namun pasti sedang menuju proses bunuh diri ekologis. Hal ini bisa dihentikan jika masyarakat dan pemerintah bahu-membahu merawat dan menciptakan ruang terbuka hijau sebagai penahan laju bunuh diri tersebut.
Nirwono Joga, pakar tata ruang dari Universitas Trisakti mengatakan, ciri-ciri kematian sebuah kota secara ekologis dapat dilihat di Jakarta. Dia mencontohkan kejadian merembesnya air laut di bawah tanah atau intrusi, amblesnya tanah dan abrasi pantai.
“Intrusi sudah mencapai sepertiga wilawah Jakarta atau sudah mencapai Bundaran Hotel Indonesia, tanah amblas sedalam 4 cm - 26 cm di Jakarta Barat, Pusat, dan Utara. Ada juga abrasi pantai sejauh 200 meter dari tepian pantai di Jakarta Utara, selain itu juga tingginya polutan yang mencemari air tanah,” kata Nirwono di Jakarta, Rabu (31/10).
Nirwono memberi dua saran, yakni pembenahan kota dari banjir dan macet. Untuk pembenahan kota dari kemacetan, Nirwono berpendapat bila pemerintah harus membenahi transportasi umum, berupa kereta commuter, koridor 15 busway, serta jalur sepeda dan pejalan kaki. Untuk pembenahan kota dari banjir, pemerintah harus menambah 30 persen ruang terbuka hijau serta perbaikan aliran sungai dan pembuangan air.
“Ada lagi yang bisa dilakukan masyarakat sebenarnya, yakni membuat sumur resapan air,” ujar Nirwono.
Lebih lanjut kata Nirwono, pemerintah juga mesti segera menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2010-2030. Hanya saja, setelah ditetapkan, penerapanya harus benar-benar sesuai dengan peraturan yang ada. Jangan sampai terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti di masa lalu. Untuk itu, hasil evaluasi sangat perlu diberikan agar siapa saja yang melanggar bisa diketahui dan dijatuhi sanksi.
“Kalau ada aturannya tapi tidak dibarengi inspeksi atau evaluasi, ya terancam ada pelanggaran. Dan peraturannya jadi sia-sia,” terang Nirwono. (*)
0 komentar:
¿Te animas a decir algo?